Jakarta, Gatra.com - Harga tiket pesawat penerbangan domestik yang tinggi bukan disebabkan oleh harga bahan bakar atau avtur. Hal ini diungkapkan Pengamat Penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman dalam acara talkshow Kongkow Bisnis, Jakarta.
"Kalau mereka bilang harga avtur, Januari 2019 itu hanya 10% lebih tinggi dibandingkan dengan Januari 2018, jadi kalau alasannya avtur, darimana?" Ungkap Gerry, Rabu (24/4).
Apabila masalahnya pada pajak untuk avtur, lanjut Gerry, itu sudah dibahas sejak lama, bukan masalah baru.
Menurutnya, jika dilihat dari proporsi orang yang melakukan penerbangan, memang orang yang terbang hanya khusus untuk pariwisata hanya 10%. Tapi bukan hanya pariwisata, ada juga family visit, dan family visit 32%.
"Kalau kita bandingkan itu dengan perjalanan dinas atau perjalanan bisnis, sama 42% juga. Sekarang kalau alasannya APBN, nah sekarangkan APBN 15%. Jadi, alasan justifikasi pengurangan volumenya juga tidak masuk akal," jelasnya.
Gerry menegaskan, jangan sampai untuk membela satu atau dua maskapai, tapi membuat pendapatan negara anjlok.
Selain itu, beberapa maskapai Indonesia, memiliki cost base yang terlalu tinggi. Misalnya dalam LCC (low cos carrier) saja ada yang lima sen per kilometer.
"Seharusnya hanya di 4 sampai 4,5 di kondisi sekarang. Cuma ya mereka sedang menikmati sekarang harganya segini. Tapi kembali lagi, tambah Gery, kita harus pikir dalam-dalam kenapa harganya naik," ujar Gerry.
Jika dibandingkan, tambah Gerry, biaya full service carrier di negara lain hampir sama dengan salah satu low cost carrier di Indonesia. Apa yang membuat perbedaan biayanya adalah penggunaan teknologi dan komitmen terhadap efisiensi.
"Kita juga gak bisa menyalahi maskapainya saja, ada beberapa juga merupakan akibat dari kebijakan pemerintah," paparnya.
Reporter: RPB
Editor: Hendry Roris Sianturi