Home Politik ARJ Sebut Tudingan Kecurangan Pilpres TSM Bukan Isu Baru dan Halusinasi

ARJ Sebut Tudingan Kecurangan Pilpres TSM Bukan Isu Baru dan Halusinasi

Jakarta, Gatra.com - Penanggung Jawab Aliansi Relawan Jokowi (ARJ), Haidar Alwi, menyebut tudingan yang terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) dalam penyelenggaraan pemilihan umum 2019, khusus Pilpres, bukan merupakan isu baru dan mudahkan.

Haidar di Jakarta, Rabu (24/4), disampaikan, isu kecurangan pilpres 2019 dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif ini hanya diputar ulang isu pilpres 2014 lalu.

"Itu masalah basi pada pilpres 2014 lalu yang coba digoreng kembali. Dan masalah basi itu dicoba untuk dikembalikan pada pilpres 2019 ini," katanya.

Hanya saja, lanjut Haidar, buka akhir peracik dari isu pilpres ini dibuka seseorang yang akan menguasai. Pasalnya, jika seseorang atau kelompok manusia normal menyebabkan kecurangan seperti yang ditudingkan, maka harus mampu membuktikan hukum mulai dari unsur terbawah hingga tinggi.

"Individu atau kelompok ini harus membuktikan hukum itu dari tingkat RT, RW, lurah, camat, dan seterusnya sampai dengan kepala pemerintahan telibat semua sebagai satu rantai mata yang tidak terpisahkan dari struktur paling bawah untuk tingkat tinggi," katanya.

Namun jika orang-orang yang mendukung tudingan ini tidak dapat membuktikan atau memberikan fakta-fakta untuk membuktikan tudinganya, maka tudingan tersebut hanya dapat menyempurnakan atau memperbesar kosong.

"Jika tidak mampu membuktikan, lebih baik jangan menghembuskannya. Karena itu sama saja sudah memfitnah. Begitupula dengan masalah kecurangan sistematis harus mampu diungkap terkait dengan perencanaan terencana yang memang benar-benar adalah komitmenanya," katanya.

Haidar mensinyalir masalah kecurangan terstruktur, sistematis, dan massaif dalam penyelenggaraan pilpres ini janggal atau aneh. Pasalnya, kubu yang menyatakan telah mengalami kecurangan diklaim sebagai pemilik penuh, ungggul 10 hingga 30%.

"Jika kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif tidak bisa dibuktikan fakta oleh individu atau kelompok. Maka, itu sama saja halusinasi manusia yang perlu perawatan atau penanganan khusus masalah kejiwaan dan mental," katanya.

Namun, lanjut dia, sekiranya individu atau kelompok masih meyakini ada kecurangan terstruktur, sistematis dan massif. Maka, tempulah jalur yang berlaku. Karena negara kita adalah negara berdasarkan hukum ( rechtsstaat ) bukan negara berdasarkan kekuasaan ( machtstaat ).

"Oleh karena itu, segala sesuatu masalah beraroma hukum seperti sput hasil pilpres sudah ada prosedur dan perpindahan yang harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku," katanya.

Haidar menjelaskan, sifat dari hukum yang diajukan sebagai warga negara yang baik, harus menaati hukum yang berlaku di Indonesia agar semua kepentingan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan.

"Karena persekusi atau teror yang dilepaskan dalam wujud tindakan, ditolak produk hukum di Indonesia. Itu adalah produk kaum intolerans, kaum radikalisme, dan kaum teroris," katanya.

Sementara itu, lawan simpatisan capres-cawapres 01 Prabowo-Sandi dari berbagai elemen melakukan aksi unjuk rasa mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar membubarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Simpatisan digantikan dari alumni 212, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Front Pembela Islam (FPI), dan emak-emak berdalih KPU tidak neteral dalam pilpres atau pilkada dan pemerintah yang terstruktur mendukung kecurangan yang dibutuhkan.