Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Tahta Maharaya, mantan staf ahli eks Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih untuk menjalani pemeriksaan dalam kasus korupsi PLTU Riau 1 yang membelit tersangka Sofyan Basir, Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero).
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SBF [Sofyan Basir]," kata Febri Diansyah, juru bicara KPK di Jakarta, Rabu (24/4).
Tahta yang merupakan keponakan sekaligus tenaga ahli dari Eni Maulani Saragih bukan orang baru dalam kasus ini. Pasalnya, dia pernah beberapa kali diperiksa hingga dihadirkan dalam sidang perkara ini untuk beberapa terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Ketika dihadirkan oleh jaksa penuntut umum KPK di persidangan, Tahta mengaku sempat diperintakan Eni membawa uang sekitar Rp7,6 miliar ke Temanggung, Jawa Tengah (Jateng). Kemudian, mengambil satu tas uang dari Samintan, bos PT Borneo Lumbung Energi & Metal.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka karena diduga bersama-sama atau membantu Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji alias suap dari Johanes Budisutrisno Kotjo selaku bos dari Blackgold Naturan Resources (BNR) Limited.
Perbuatan Sofyan berawal dari surat permohonan Direktur PT Samantaka Batubara kepada PLN agar memasukan proyek PLTU Riau 1 dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Lisytrik (RUPTL). Namun rencana ini tidak ditanggapi.
Sofyan kemudian diduga menunjuk Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau 1 setelah terjadi beberapa kali pertemuan yang difasilitasi Eni Maulani Saragih. Eni melakukan hal tersebut setelah diminta Kotjo demi mendapatkan proyek PLTU tersebut.
Penunjukan Kotjo pada 2016 tersebut dilakukan Sofyan meskipun saat itu belum ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan untuk menugaskan PLN membangun Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK).
Kemudian, pembangunan proyek PLTU Riau 1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam RUPTL PLN. Setelah itu, Sofyan menyuruh salah satu direktur PT PLN (Persero) agar segera menandatangani Power Purchase Agremeent (PPA) antara PLN, BNR, dan China Huadian Egineering Co Ltd (CHEC) segera direalisasikan.
Bukan hanya itu, Sofyan juga menyuruh salah satu direktur di PLN untuk berhubungan dengan Eni dan Kotjo serta menyuruh direktur untuk memonitor karena adanya keluhan dari Kotjo soal lambannya penentuan proyek PLTU Riau 1.
"SFB membahas bentuk dan lama kontrak antara CHEC dengan perusahaan-perusahana konsorsium. SFB juga diduga menerima hadiah atau janji dengan mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham," kata Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangka Sofyan Basir melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 Ayat (2) KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.