Ternate, Gatra.com - Peringatan Hari Bumi di Kota Ternate, Maluku Utara diwarnai aksi teatrikal. Bertemakan "Maluku Utara Tolak Perampasan Ruang Hidup", para aktivis lingkungan menuangkan aspirasi mereka dalam bentuk teatrikal.
Dalam aksi ini, mereka mengambil rute dari kawasan cagar budaya Dodoku Ali menuju gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Ternate, Pasar Higienis, Jatiland Mall hingga Land Mark. Tak lupa mereka membawa miniatur bola bumi dan batang pohon.
"Maknanya, adalah bumi semakin tua, namun masih di bawah cengkraman investor. Karena sampai saat ini masyarakat di Maluku Utara masih menghadapi perampasan ruang hidup," ujar Sahman Sapsuha, Kordinator aksi, kepada Gatra.com di Ternate, Senin (22/4).
Dijelaskan Sahman, aksi tersebut melibatkan beberpa organisasi, diantaranya Valasany, Slavery, Himpunan Pelajar Mahasiswa Sula (HPMS) Cabang Ternate, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kota Ternate.
Menurut Sahman, berdasarkan data yang diterima Tim Slavery, terdapat laporan sekitar 313 izin usaha perkebunan kelapa sawit yang sudah ditanda tangani oleh pemerintah pusat dan daerah. "Buktinya, kehadiran kelapa sawit yang dijalankan oleh perusahan PT. K di Gane, Halmahera Selatan, menjadi ketergantungan masyarakat," ujarnya.
Sahman menuturkan, saat ini lahan perkebunan masyarakat telah dilahap habis oleh perusahaan. Seperti kehadiran CV. S di Dusun Bantala, Desa Wailoba, Kabupaten Kepulauan Sula pada April 2016.
Dia katakan, awalnya perusahaan tersebut berencana menanam buah pala dan kakao. Sedangkan kenyataan di lapangan, perusahaan malah mengeksploitasi kayu. "Padahal di IPK itu izin usaha perkebunan, tapi malah kayu yang di ambil," akunya.
Pengamat Hukum, Sosial dan Politik Maluku Utara, Sumarlin Maate, kepada Gatra.com di Ternate, berpandangan bahwa pemerintah di Maluku Utara pada dasarnya lebih mengedepankan konsep developmentalisme.
"Baik itu dari sektor publik maupun swasta sebagai alasan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Namun dari sisi pertimbangan, dampak lingkungan masih belum menjadi perhatian serius semua strcholder di Maluku Utara," jelasnya.
Dulu, kata Sumarlin, setelah pemekaran Kepulauan Sula menjadi Taliabu, ada dugaan kuat para pelaku-pelaku tambang yang memiliki koneksi dengan penguasa lokal. Terutama saat pemerintah daerah masih memiliki kewenangan menerbitkan izin.
Dijelaskan Sumarlin, saat ini Undang-undang Minerba telah diubah. Dimana, kewenangan perizinan diberikan ke pemerintah provinsi. "Untuk itu ada ketimpangan antara PAD dengan jumlah izin pertambangan. Di sini ada indikasi bahwa perizinan yang bermasalah itu dilarikan ke relasi kekuasaan dan pemilik perusahaan," jelasnya.
Menurut Sumarlin, jika menggunakan UU 27 tahun 2007 sangat tidak layak untuk mengelola pertambangan di beberapa daerah di Maluku Utara. "Misalnya Taliabu dan Pulau Pakal di Halmahera Timur. Untuk itu, negara harus hadir dengan instrumen hukum yang berpihak pada keselamatan ekologi pesisir dan rakyat," jelasnya.
Selain itu, maraknya pertambangan di Maluku Utara yang membawa dampak besar terhadap kelangsungan ekologi, karena terletak pada masalah mekanisme perizinan. "Pada tahapan ini tidak dilakukan sosialisasi secara transparan sesuai dengan syarat UU," tukasnya.
Reporter: Nurkholis