Jakarta, Gatra.com - Analis komunikasi politik dari Universitas Telkom Bandung, Dedi Kurnia Syah, menilai klaim dan deklarasi kubu 02 Probowo Subianto memenangkan pilpres 2019 merupakan bagian dari strategi propaganda politik untuk menggalang opini.
Dedi kepada Gatra.com, Minggu (21/4), menyampaikan, strategi tersebut dilakukan agar publik tidak terfokus pada hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei yang seluruhnya menyatakan capres-cawapres 01 Jokowi-Ma'ruf unggul perolehan suara.
"Deklarasi kemenangan [Prabowo] bukan keputusan personal, tentu bagian dari strategi propaganda politik demi menahan kepercayaan pada hasil hitung cepat," ujarnya.
Menurut Dedi, klaim dan deklarasi memenangkan pilpres sebelum ada keputusan dari pihak penyelenggara bukan hanya di Indonesia, namun juga di beberapa negara. Ada dua mengapa muncul klaim dan melakukan deklarasi memenangkan pilpres sebelum ada keputusan yang sah.
Pertama, lanjut Dedi, deklarasi atau klaim kemenangan tersebut untuk mengacaukan konsentrasi publik dan memberikan pesan kepada pemilih, khususnya pendukungnya bahwa pertarungan belum selesai dan semua kubu masih memiliki kans untuk menang.
"Kedua, klaim ini sebagai konter hegemoni dari dominannya pemberitaan yang nyatakan petahana lebih unggul," ujar Dedi.
Meski klaim dan deklarasi kemenangan kubu Prabowo tersebut sebagai propaganda politik, namun Dedi menyayangkannya karena hal tersebut juga berdampak buruk bagi publik.
Selain membingungkan publik terhadap hasil Pilpres, ujar Dedi, klaim sepihak tersebut juga mengarah pada delegitimasi hasil pemilu. Jika kedua hal tersebut terjadi, maka akan banyak yang menjadi korban.
Karena itu Dedi meminta para elit politik baik dari kubu 02 dan 01 agar sama-sama menahan diri hingga ada keputusan dari Komisi Pemilihan Umum (KPK) soal siapa yang menjadi pemenang dan memimpin Indonesia untuk 5 tahun ke depan.
"Saran, baiknya tentu kedua kubu menahan diri, memberi ruang seluasnya untuk KPU bekerja tanpa intervensi," imbau Dedi.