Ternate, Gatra.com - Mulutmu harimaumu. Peribahasa ini seakan relevan dengan pernyataan yang dilontarkan Achmad Hatari, politisi dari Partai Nasional Demokrat (NasDem). Anggota Komisi XI DPR RI ini mengaku kecewa lantaran suaranya hanya mencapai 700 dari jumlah sekitar 2000 daftar pemilih tetap (DPT) di Kelurahan Tomalou.
Selain mempermasalahkan jumlah suara, Achmad Hatari juga menyingung soal sumbangan berupa karpet sejadah di Masjid Agung Nurul Bahar di Kelurahan Tomalou. Pernyataan tersebut diduga menjadi pemicu bentrokan antara dua kelurahan di Tidore.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Maluku Utara, Helmi Alhadar, kepada Gatra.com di Ternate, Minggu (21/4/2019), berpendapat bahwa semestinya Achmad tidak mengumbar kekecewaan seperti itu. Apalagi soal suara dan bantuan.
Menurut dia, mengungkit bantuan merupakan pelecehan terhadap masyarakat. Karena suara mereka dianggap tidak berarti. Di mana, Achmad secara gamblang mengatakan bahwa tanpa suara 700 itu, dirinya bakal tetap menduduki kursi di Senayan.
"Sebagai seorang politisi yang hartawan, Achmad seharusnya bijak dan tetap mengapresiasi masyarakat. Paling tidak, untuk mereka yang telah memberi suara kepadanya," jelasnya.
Bagi pengamat politik yang juga pengajar di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ini, dari kasus tersebut, orang akan melihat sikap pamrih politisi dalam memberikan bantuan. Karena kerap dihubungkan dengan kepentingan pribadi untuk mendongkrak suaranya di setiap momentum pemilihan.
Menurut Helmi, ini menjadi pengalaman penting bagi Achmad dan politisi lainnya. Karena peristiwa ini sangat merugikan citra Achmad sebagai elite yang sudah dikenal luas. "Karena ini bisa dimanfaatkan oleh lawan politik untuk menjatuhkan pamornya," katanya.
Selain itu, lanjut Helmi, uang bukanlah jaminan suara bagi seorang politisi untuk meraih kursi parlemen. Sebab pendidikan dan kesadaran politik masyarakat sudah mengalami peningkatan. "Jadi politisi agar lebih peka lagi," jelasnya.
Sebab, masalah pemberian dari seorang politisi ke masyarakat tidak hanya dilakukan oleh seorang Achmad saja. Tapi sangat mungkin para oknum caleg lain yang juga melakukan hal yang sama.
"Perilaku ini sudah umum, namun sulit dibuktikan. Atau mungkin kita yang ogah mengungkapnya, karena pertimbangan hubungan sosial. Ini juga membuktikan bahwa Bawaslu lengah dalam memantau perilaku para politisi," tuturnya.
Reporter: Nurkholis