Jakarta, Gatra.com - Dosen Fakultas Hukum Monash University, Nadirsyah Hosen yang akrab disapa Gus Nadir menekankan perlunya bangsa Indonesia mensyukuri dan memperkuat demokrasi.
Gus Nadir membandingkan antara penerapan demokrasi di Indonesia jauh lebih baik dengan negara lain seperti di Mesir, Sudan, negara Timur Tengah, dan Afrika.
"Dibandingkan negara lain, Indonesia patut berbangga, sampai H-1 aman, damai. Bandingkan dengan Sudan yang sekarang bermasalah, di Mesir, Mursi setelah menang ditumbangkan militer, di negara lain di mana parlemen hanya stempel dan perempuan tidak boleh ikut memilih," papar Gus Nadir dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Selasa (16/4).
Bahkan Gus Nadir membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) yang mana pada 50 tahun pertama masih menghadapi perang saudara, sementara Indonesia tidak.
Rois Syuriah Pimpinan Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (NU) Australia ini juga memaparkan keberhasilan transformasi demokrasi pasca-Reformasi, yakni kekuasaan tak lagi terpusat di satu kekuatan seperti di masa Orde Baru.
"Kita telah berhasil mempreteli dan mendistribusikan kekuasaan dalam demokrasi, kalau dulu terpusat di kroni Soeharto, bandul bergeser dari militer ke parlemen, di parlemen pun sudah tidak ada kekuasaan absolut seperti dulu di MPR," terang Gus Nadir.
Bahkan Gus Nadir menyebut saat ini Parlemen dan Presiden takut dengan suara rakyat yang bisa menyampaikan aspirasinya melalui berbagai media sosial.
Menurutnya, Indonesia telah memfasilitasi pengawasan dan penyelesaian masalah dalam demokrasi secara sistemik dengan adanya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga Mahkamah Konstitusi ( MK) sehingga persengketaan bisa diredam.
Preseden positif ini, menurut Gus Nadir perlu diarahkan agar aspirasi yang muncul dalam demokrasi tidak berujung pada tindakan anarkis.
"Dalam Islam, kita bisa berbeda dalam salat berjamaah meski imam dan kiblatnya harus sama, makmum bisa mengamalkan salat yang berbeda sesuai mazhabnya. Nah, demokrasi juga bisa seperti itu," terang putra dari almarhum KH. Prof. Ibrahim Hosen ini.
Kemudian terkait populisme di mana para politisi hanya menjual emosi massa dan bukan jual program serta memainkan politik identitas, Gus Nadir menyebut hal tersebut merupakan proses demokratisasi yang wajar dilalui setiap bangsa.
"Di semua negara yang sedang melakukan demokratisasi, ini proses yang wajar dan harus dilewati. Nah, kita harus dorong terus bagaimana kelola perbedaan sambil sistem diperkuat," terangnya.
Menurutnya, yang perlu dikhawatirkan bukanlah politik identitas, namun apatisme dan sistem yang berantakan.