San Diego, gatra.com – Apple Inc dan sekutunya akan mengajukan tuntutan pada Qualcomm Inc dalam sidang di pengadilan kota San Diego, Senin (15/4) seperti dilaporkan laman Reuters.
Apple menuntut ganti rugi kepada Qualcomm sebesar US$ 27 miliar karena lisensi paten yang ilegal. Di sisi lain, Qualcomm menuduh Apple memaksa rekan bisnis lamanya untuk membayar royalti sebesar US$ 15 miliar.
Tuntutan yang dilakukan sejak awal 2017 terkait chip modem yang menghubungkan perangkat seperti iPhone dan Apple Watch ke jaringan nirkabel. Qualcomm menghabiskkan waktu selama 2 tahun terakhir untuk mengajukan berbagai tuntutan kecil untuk melarang penjualan iPhone.
Qualcomm mensyaratkan pembuat perangkat untuk menandatangani lisensi paten sebelum mendapatkan chip yang mereka pesan. Namun, Apple dan pembuat perangkat di seluruh dunia menganggap praktek tersebut sebagai pencelupan ganda, yaitu membebankan biaya terhadap hak intelektual yang sama dan menarik biaya cip yang paten tersebut diwujudkan.
Apple dan sekutunya meminta pengakhiran praktik tersebut dan uang kembali sebesar US$ 9 miliar. Namun, jumlah tersebut dapat berkembang 3 kali lipat apabila tuduhan monopoli yang dituduhkan Apple terbukti, untuk pabrik kontraktor seperti Foxconn yang membayar royalti tersebut dan mendapat uang ganti dari Apple.
“Bahkan perusahaan sangat besar seperti Intel merasa dirugikan” ungkap Michael Salzman, pengacara anti monopoli dari Hughes Hubbard & Reed.
Qualcomm berpendapat Apple telah menggunakan pengaruhnya untuk mendorong para kontraktor memutus kontraknya. Qualcomm merasa Apple dan sekutunya merampas US$ 7 miliar royallti yang telah mereka dapat. Menurut Qualcomm, model praktik ini telah berjalan selama bertahun-tahun hingga sebelum datangnya tuntutan Apple.
“Saya tidak berpikir (kemenangan atas Qualcomm) akan hebat bagi Apple, kecuali kalau mereka ingin mendapat uang, jumlah tersebut sangat besar” ujar Analis Ekuitas dari Bernstein, Stacy Rasgon. “Sementara bagi Qualcomm, ini menjadi serangan bagi model bisnisnya” ungkap Stacy.
Reporter : SDA/Reuters