Jakarta, Gatra. com - Koordinator Rumah Pergerakan Gus Dur (RPGD), Yenny Wahid menyebutkan, penggunaan huruf Arab pegon bertuliskan 'Tetap Jokowi' pada ikat kepala maupun kaos yang dipakai selama masa kampanye bukan bentuk atau simbol dari politik aliran.
Klarifikasi ini disampaikan Yenny menyusul sejumlah pertanyaan seputar huruf Arab Pegon yang dipakai RPGD selama masa kampanye. Tak hanya relawan, putri Presiden RI ketiga, Abdurrahman Wahid ini juga kerap menggunakan huruf pegon di jaket atau kaosnya.
"Huruf pegon justru dipakai sebagai perlawanan terhadap penggunaan aksara Arab yang selama ini dianggap simbol politik aliran atau politik identitas,” kata Yenny di sela kegiatan Konser Putih BerSatu di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Sabtu, (13/4).
Yenny menjelaskan, ada kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang menggunakan aksara Arab untuk memecah belah bangsa, bukan mempersatukan seperti asalnya. Dalam Pilpres, aksara Arab dipakai sebagai penunjuk politik aliran.
"Bahkan, persaingan kedua calon presiden pun dinilai dari identitas keislamannya,” urai Yenny.
Padahal, dalam sejarahnya, huruf atau aksara Arab adalah salah satu dari ribuan aksara dari berbagai bangsa di dunia yang – oleh bangsa Arab – digunakan tidak hanya untuk kepentingan agama. Tetapi juga keperluan ekonomi, politik, dan urusan kehidupan lainnya.
Istilah Arab pegon itu sendiri, kata Yenny, berawal dari modifikasi huruf Arab untuk menuliskan bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda, serta bahasa daerah lainnya. Tulisan ini berkembang setelah Islam menjadi agama mayoritas rakyat Nusantara.
"Sebelumnya, suku-suku bangsa di kepulauan Nusantara menggunakan aksara Pallawa dari bahasa Sansekerta yang berasal dari India Selatan," ujar Yenny.
Diakui Yenny, penggunaan ikat kepala dan kaos ”Tetap Jokowi” dalam huruf Arab pegon adalah upaya untuk mengingatkan kembali pada sejarah yang hilang.
"Sejarah ketika banyak suku bangsa di Indonesia menggunakan huruf Arab untuk menuliskan bahasa daerahnya bagi keperluan sehari-hari. Masa sebelum huruf Latin diperkenalkan oleh penjajah Belanda seperti yang dipakai sampai sekarang," tuturnya.
Pada masanya, lanjut Yenny, huruf Arab pegon sempat dipakai meluas di kalangan pesantren, untuk menulis terjemahan Alquran, menulis naskah-naskah khutbah, hingga menulis adaptasi karya-karya sastra dari Persia, Arab maupun negara-negara Timur Tengah lainnya.
"Meskipun kegiatan literasi masih hidup di pesantren-pesantren, namun huruf Arab pegon sudah semakin jarang digunakan. Ini yang kemudian mengilhami teman-teman relawan RPGD untuk memakai Arab pegon, sekaligus sebagai kritik terhadap penggunaan aksara Arab yang keliru dan salah kaprah," tegas Yenny.
Dalam pemaknaan yang lebih luas, menurut Yenny, penggunaan Arab pegon dalam konteks kekinian tidak lepas dari upaya melestarikan kekayaan budaya Nusantara.
"Kita dituntut sigap mengantisipasi perubahan cepat yang muncul sebagai dampak Revolusi Industri 4.0. Namun, kita tetap tidak boleh menangggalkan kearifan lokal, bahkan hingga ke tingkat penggunaan Arab pegon," ujarnya.
Kader RPGD, Abdullah Nur mengatakan, penggunaan Arab Pegon bertuliskan 'Tetap Jokowi' membuat pesta demokrasi semakin berwarna. Menurutnya, penggunaan tulisan ini tak ada kaitannya dengan politik identitas. Sebab, selain tulisan Arab bisa dikreasikan sedemikian estestik, maka penggunaan pegon 'Tetap Jokowi' menarik minat masyarakat untuk membeli.
"Setelah pegon 'Tetap Jokowi' dipakai Mbak Yenny, banyak warga yang mau beli. Ada juga yang menjiplak, bikin sendiri-sendiri," ucapnya di Komplek GBK.
Wem Fernandez