Surabaya, Gatra.com- Pakar hukum dari beberapa universitas melakukan ekasaminasi atau penilaian putusan hakim atas kasus Budi Pego atau Heri Budiawan, aktifis lingkungan asal Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi itu dituduh komunis hanya karena menolak tambang di Tumpang Pitu.
Bertempat di Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (27/8), pakar hukum yang bertindak sebagai eksaminator antara lain Joko Ismono dari Universitas Wijaya Putra, M. Tavip, dari Universitas Tadulako, Hananto Widodo, dari Universitas Negeri Surabaya, Herlambang P Wiratraman dari Universitas Airlanggga.
Joko Ismono mengatakan persoalan kriminalisasi terhadap pejuang HAM dan lingkungan hidup, telah dilindungi oleh pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Jadi, kata Joko, apa yang menimpa Budi Pego adalah kriminalisasi, karena tidak ada bukti yang dihadirkan di setiap persidangan. Sehingga tidak tepat menerapkan pasal kejahatan pada Budi Pego.
“Hakim berpikir formalisitik, tidak melihat konteks bahwa itu adalah perbuatan memperjuangankan lingkungan hidup,” tegasnya.
Baca juga: Budi Pego, Menentang Tambang Emas Namun Dituduh Sebarkan Ajaran Komunis
Joko juga menangkap ada sejumlah kejanggalan putusan hakim MA, yang justru memperberat hukuman Budi Pego. Ia menduga, ada indikasi tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
“Karena berdasarkan KUHAP, kewenangan hakim MA dalam tingkat kasasi hanya untuk memeriksa apakah judex facti melampaui kewenangan, apakah judex facti salah dalam penerapan materilnya dan formilnya,” ungkapnya.
Sementara itu, M. Tavip menilai kasus Budi Pego tidak ada unsur melawan hukum. “Unsur hukum yang dipakai hakim tingkat PN untuk memutuskan kasus Budi Pego adalah hanya karena aksi yang tidak memiliki ijin. Padahal instrumen untuk aksi adalah pemberitahuan, bukan ijin,” tegasnya.
Kemudian, Hananto Widodo juga memberikan catatan kritisnya. Ia menegaskan bahwa kasus tersebut tidak memenuhi unsur melawan hukum dan terkesan dipaksakan.
Ia menduga adanya unsur rekayasa agar Budi Pego kehilangan hak-haknya. Bahkan menurutnya kasus ini hanya untuk mengalihkan isu pertambangan yang ditolak oleh warga Tumpang Pitu.
“Bahwa sebenarnya pasal 107a bisa digunakan terhadap Heri Budiawan, jika ia paham dengan ajaran komunisme. Sehingga dengan kasus ini, untuk ke depan pasal ini bisa menjadi pasal rawan. Pihak penegak hukum hanya mendasarkan bukti formal saja dalam kasus ini,” tutupnya.
Dalam eksaminasi ini, Herlambang Wiratraman juga memberikan catatan menarik. Menurutnya dalam putusan hakim PN dan PT, ia melihat bahwa nalar hukum hakim tidak merujuk pada satupun tradisi aliran filsafat hukum.
“Dalam filsafat hukum terdapat 6 aliran, yakni aliran historis, naturalis, positivisme, soiological jurisprudence, utilitarianisme, realisme. Dalam kasus ini, tidak satu pun hakim merujuk pada aliran filsafat hukum tersebut,” ujarnya.
Reporter: Muhammad Rizky
Editor: Bernadetta Febriana