Jakarta, Gatra.com – Peneliti Masyarakat dan Budaya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Obing Katubi, menyatakan bahwa mayoritas dari sekitar 700 bahasa yang ada di Indonesia, 400 di antaranya berasal dari Indonesia bagian timur, terancam punah.
Sebagai konteks, terdapat sekitar 6.000 bahasa di seluruh dunia. Namun, keragaman bahasa tersebut terancam karena menurut Obing, sekitar 50% dari keseluruhan jumlah bahasa tersebut diprediksi punah dalam kurun waktu 100 tahun ke depan.
Obing mengkhawatirkan hal serupa berpotensi terjadi di Indonesia. “Jumlah [bahasa di Indonesia] yang begitu besar, yang menjadi laboratorium terbesar kedua di dunia dalam hal jumlah bahasa, juga mengalami nasib serupa seperti fenomena kebahasaan tingkat dunia karena sebagian besar bahasa Indonesia juga terancam punah, terutama di bagian timur,” ujarnya dalam webinar "Talk to Scientists" yang digelar oleh LIPI secara daring pada Selasa (4/5).
Kepunahan bahasa daerah bisa disebabkan oleh banyak faktor. Yang pertama, adalah faktor penaklukan, baik itu penaklukan ekonomi, budaya, maupun politik. Menurut Obing, hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, bahasa di belahan dunia lain pun bernasib sama.
Faktor kedua, adalah pagebluk atau epidemi. Pagebluk bisa memusnahkan suatu bahasa, terutama apabila penutur bahasa tersebut jumlahnya sedikit. Inilah yang dikhawatirkan terjadi pada bahasa-bahasa di Indonesia bagian timur.
Menurut Obing, jumlah penutur bahasa daerah di Indonesia timur tidak sebanyak penutur bahasa daerah seperti bahasa Jawa dan Sunda, di Indonesia bagian barat. Jumlah penutur bahasa Jawa saja, menurut Obing, berjumlah kurang lebih 70 juta jiwa.
“Tapi kalau di Indonesia timur, terutama di NTT dan Papua, ada yang bahasa itu dituturkan hanya oleh 100 orang, 300 orang, 500 orang, 1000 orang, bahkan tinggal puluhan orang pun ada. Bayangkan, kalau misalnya komunitas itu terkena pagebluk atau penyakit yang sangat mematikan, bahasa dan kebudayaan mereka menjadi sangat potensial terancam punah,” ujar Obing.
Lalu faktor yang ketiga, adalah tekanan ekonomi. Dengan alasan ekonomi, sekelompok penutur bahasa tertentu bisa saja meninggalkan bahasa daerahnya. Kemudian sekelompok tersebut menjadi penutur bahasa lainnya yang secara ekonomi bisa lebih menguatkan kedudukan sosio-ekonomi mereka.
Faktor yang berikutnya, adalah kontak bahasa dan budaya yang meleburkan bahasa. Ini banyak terjadi di Indonesia timur. Karena kontak bahasa dan budaya, akhirnya suatu kelompok penutur bahasa menggunakan lingua franca yang mereka sering gunakan, seperti bahasa Melayu-Papua, Melayu-Alor, Melayu-Kupang, dan Melayu-Ambon.
Faktor kelima, adalah politik bahasa. Sebagai contoh, anak-anak pelajar dilarang menggunakan bahasa daerah mereka di sekolah. Jika menggunakan bahasa daerah, maka mereka akan mendapatkan hukuman. Cara ini dapat berakibat buruk. Siswa-siswa sekolah tersebut nantinya bisa menganggap kalau bahwa bahasa daerah itu tidak penting dan tidak ada gunanya.
Padahal, pada praktiknya, bahasa daerah masih bisa digunakan di Sekolah Dasar (SD) pada level bawah, misalnya kelas satu, dua, dan tiga, sebelum anak-anak itu lancar menggunakan bahasa Indonesia. Meski demikian, kata Obing, realita di lapangan tidak sepeti itu.
Faktor keenam, adalah sikap negatif atau sikap tak peduli dari kelompok penutur bahasa lain terhadap bahasa yang terancam punah. Biasanya, menurut Obing, terdapat stereotip negatif tertentu dari kelompok penutur bahasa lain terhadap bahasa yang eksistensinya terancam.
Lalu, faktor yang terakhir adalah sikap dan loyalitas dari kelompok penutur bahasa itu sendiri. Menurut Obing, sikap positif dan loyalitas suatu kelompok penutur bahasa, meski jumlahnya sedikit, bisa meredam kepunahan suatu bahasa. Sebaliknya, kalau juamlahnya banyak, apalagi sedikit, tapi kemudian penuturnya tidak menunjukkan sikap loyal terhadap bahasa daerahnya, kepunahan bahasa tersebut tak akan terelakkan lagi.
Maka dari itu, Obing menekankan pentingnya revitalisasi bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa di wilayah timur Indonesia. “Kita harus menjadikan revitalisasi bahasa sebagai gerakan sosial, budaya, dan politik,” ujar Obing.