Yogyakarta, Gatra.com – Meski berlangsung sejak 2004, selama 2014 - 2019 ini kepentingan sektor privat semakin merasuk ke negara sebagai pengambil kebijakan. Oligarki politik dan bisnis pun kian besar. Untuk mengatasi krisis demokrasi diperlukan kearifan lokal berbasis budaya Indonesia.
Hal ini menjadi benang merah diskusi akhir tahun ‘Catatan Sipil di Bidang Ekonomi Sosial, Politik, dan Hukum Tahun 2019’ di kantor PP Muhammadiyah, Kota Yogyakarta, Senin (30/12).
Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas didapuk sebagai pembicara kunci dalam diskusi yang menghadirkan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Purwo Santoso, dosen Fakultas Hukum UGM Zaenal Arifin Mochtar, dosen Fakultas Ekonomi UGM Akhmad Akbar Soesamto, dan dosen Fisipol UMY Ridho Al-hamdi.
“Akhir tahun ini, PP Muhammadiyah menyatakan keprihatinan nasional atas kehidupan demokrasi saat ini. Ini adalah tema yang kami angkat,” kata Busyro di awal sambutannya.
Lebih lanjut Busyro mengatakan kehidupan politik bangsa sejak 2004 diwarnai aksi oligarki politik dan oligarki bisnis. Tidak terlalu tampak di dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, oligarki politik dan bisnis di masa Presiden Joko Widodo semakin besar.
Kedua oligarki ini melahirkan korporatokrasi yang mengawetkan kekuasaan hingga memunculkan nepotisme di birokrasi juga mengabaikan prinsip meritokrasi dan profesionalisme.
“Sistem demokrasi kita sejak dua dekade lalu tidak berjalan demokratis namun transaksional. Akibiatnya kader-kader terbaik bangsa mobilitas vertikalnya didasarkan pada proses transaksi semata,” katanya.
Sebagai bukti makin besarnya oligarki di bawah Presiden Jokowi, Busyro menyatakan saat ini sektor swasta telah mempengaruhi kebijakan negara demi kepentingan pribadi. Kondisi itu bahkan mungkin dialami dalam penegakan hukum.
Selain itu, kata Busyro, banyaknya pelaku korupsi baik dari kalangan legislatif dan eksekutif menegaskan bahwa sektor swasta telah jauh merasuk dalam kepentingan negara yang seharusnya mementingkan rakyat kecil.
“Sejak 2014, peran masyarakat kecil semakin dijauhkan negara dan malah memberi ruang yang lebih besar kepada private sector,” ujarnya.
Karena itu, demi mengembalikan kehidupan demokrasi, Busyro mewakili PP Muhammadiyah mengajak rakyat menyelamatkan daulat rakyat dengan sikap kritis, etis, dan optimistis sebagai komitmen bersama.
“Negara harusnya menjadikan kedaulatan rakyat sebagai tujuan utama bukan malah kedaulatan private sector atau partai,” ucapnya.
Merespons paparan itu, Rektor UNU DIY Purwo Santoso menyatakan kondisi ini akibat tidak adanya ideologi yang dipegang masyarakat sejak Reformasi bergulir.
“Reformasi itu adalah paket liberalisasi tanpa judul di mana salah satu penggagasnya adalah tokoh Muhammadiyah. Tanpa ideologi, masyarakat kita sekarang demokrasinya bersifat magel. Matang tidak, mentah tidak,” katanya.
Purwo percaya, kunci utama menyelamatkan masyarakat dan negara dari krisis demokrasi selama dua dekade ini adalah dengan menghidupkan kembali kearifan lokal yang menjadi nilai dan budaya masyarakat Indonesia.