Jakarta, Gatra.com – Ketahanan pangan menjadi kunci majunya ekonomi suatu negara. Untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut perlu upaya yang serius agar lahan komoditas pangan selalu terjaga dan produktif. Pengamat pangan Wibisono mengatakan saat ini ketahanan pangan Indonesia belum berada dalam kondisi menguntungkan.
Wibi, kerap ia disapa, menyebutkan penyebab kegagalan pemerintah dalam mencapai kedaulatan pangan karena tidak optimalnya lahan pertanian. Salah satu penyebabnya karena faktor kerusakan tanah yang luas akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan.
Ia lantas merujuk pada data Tech-Cooperation Aspac FAO yang menyebutkan bahwa 69 persen tanah pertanian di Indonesia dikategorikan sudah rusak parah (tandus) lantaran penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Dengan kondisi itu diramalkan ketahanan pangan (food security) Indonesia hingga 2050 akan sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Persoalan kerusakan lahan tersebut menurutnya jarang menjadi sorot perhatian. Ketika kegagalan pangan terjadi maka yang kerap disalahkan adalah faktor di luar itu. “Namun justru masalah banjir, kekeringan, dan serangan hama, selalu dijadikan kambing hitam masalah gagal pangan,” ujar pria yang juga menjabat Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) tersebut.
Selain itu dirinya mengatakan selama ini pemerintah belum mempunyai kalkulasi dan perencanaan yang matang terhadap kebutuhan beras nasional. Misalnya kebutuhan beras 2 juta ton, maka seharusnya angka produksinya 2,5 juta ton sehingga ada stok 0,5 juta ton. “Kita belum sampai ke sana,” katanya kepada Gatra.com, Senin (16/9).
Persoalan klasik yang ditemui adalah tingginya biaya produksi beras di Indonesia. Mahalnya ongkos produksi tersebut terang Wibi dipengaruhi oleh tingginya komponen pembelian pupuk. Ia menerangkan biaya produksi beras Indonesia selama ini sebesar Rp5.900 per kilogram. Biaya itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksi beras di Vietnam yang berkisar Rp2.300 per kilogram, Australia Rp1.800 per kilogram, dan Amerika Serikat Rp900 per kilogram.
Masalah lain yang ditemukan dalam ketahanan pangan adalah faktor rendahnya sentuhan teknologi oleh petani lantaran minimnya ilmu pengetahuan. “Misalnya banyak petani yang tidak dapat mengukur power of hydrogen (PH) tanah atau obat-obatan apa saja yang tidak boleh digunakan. Selain itu banyak pula petani yang tidak bisa memilih benih unggul,” ucapnya.
Wibi khawatir, jika tidak ada terobosan dalam hal teknologi, Indonesia akan tetap jadi pengimpor beras abadi. Sementara diperkirakan sebanyak 40 juta petani padi di Indonesia akan menghidupi 246 juta jiwa penduduk Indonesia.
Untuk mengatasi hal tersebut dirinya menyarankan agar pemerintah mencanangkan program perbaikan tanah atau soil amendment programme dengan memperbaiki sifat biologi tanah. “Selama ini kita hanya memperhatikan sifat fisika dan kimia saja sementara aspek biologi tidak pernah dipikirkan,” katanya.
Redefinisi pupuk yang benar dan mengelola tanah dengan technologi pertanian yang modern seperti digital farming menurutnya akan menjadi solusi baru dalam pengelolaan lahan pertanian di tanah air. “Nenek moyang kita zaman dulu tidak ada pupuk tapi bisa menanam dan panen. Pada saat intensif menggunakan pupuk, produksi malah turun atau terjadi gagal panen, ini kan aneh” ujarnya lagi.