Bantul, Gatra.com - Indonesia pernah memperoleh prestasi menjadi negara swasembada pangan pada 1984 silam. Saat itu pemerintah era Soeharto mampu mencukupi kebutuhan dasar pangan secara mandiri.
Prestasi itu tak bisa lepas dari peran para petani di sebuah desa di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bernama Kebonagung. Ketika itu, masyarakat setempat berhasil melipatgandakan produksi tanaman padinya.
"Tahun 1984 waktu Pak Harto mencanangkan swasembada pangan, warga petani di sini adalah juara nasionalnya. Produksi padi saat itu melimpah," kata Kepala Museum Tani Jawa Indonesia, Kristya Bintara, mengungkapkan latar belakang berdirinya museum, Sabtu (4/5).
Pada 1998 silam, petani di desa ini kembali mendapat penghargaan dari pemerintah. Bintara sendiri yang diundang ke Jakarta untuk menerima anugerah itu dari Presiden BJ. Habibie.
"Produksi kedelai bisa naik dua kali lipat. Kami juara tingkat nasional dan saya sendiri mewakili warga yang menerima penghargaan dari Pak Habibie," ucapnya.
Penghargaan pada 1998 silam itu membuat 29 negara berkembang belajar pertanian ke Desa Kebonagung. Setelah itu muncul tekad warga mendirikan sebuah museum bernama Tani Jawa Indonesia. Namun museum itu baru terwujud pada 2005.
"Pada 2006 ada bencana gempa. Tahun 2007 kami lanjutkan pembangunan dan akhirnya 2017 mendapat bantuan dari dana keistimewaan," katanya.
Bangunan ini kini berdiri di lahan seribu meter persegi. Di halaman depan ada patung petani yang sedang membajak bersama dua ekor kerbau. Patung ini diapit dua bangunan utama tempat menyimpan koleksi museum. Bangunan di belakang patung digunakan pengelola untuk menerima tamu.
"Ada sekitar 600 koleksi. Barang-barangnya dari hibah masyarakat sekitar berupa alat-alat pertanian zaman dulu," katanya.
Menurut Bintara, tak hanya menjadi kenal alat-alat pertanian, pengunjung museum ini bisa mewarisi nilai-nilai perjuangan petani. Mulai kesederhanaan, kejujuran, tidak neko-neko, dan selalu bersyukur atas keadaan apapun.
"Saat masa panen, begitu kena hama, dia selalu menerima hasil panen itu. Petani juga selalu bersyukur kepada Sang Pencipta, diwujudkan saat mau panen pasti ada ritual namanya wiwitan, yakni mengambil malai-malai padi yang bagus dan akan ditanam di tanaman berikutnya," katanya.
Wiwitan digelar bersama tradisi bersih dusun. Ia mencontohkan ritual rasulan di Gunungkidul. Tradisi ini berupa makan-makan bersama kerabat dan tetangga.
Pengunjung museum ini kebanyakan siswa dan wisatawan mancanegara. Mereka sekadar melihat-lihat atau belajar bertani. "Saat ini per tahun ada sekitar 22 ribu pengunjung, seribu di antaranya turis asing," katanya.
Salah satu petugas museum, Wintolo, mengatakan, pengunjung museum akan dijelaskan fungsi masing-masing alat tani yang dipakai pada masa 1980 dan 1990-an seperti luku, garu, sorok, alu, hingga lumpang. "Alat-alat ini bisa digunakan wisatawan belajar bertani," katanya.
Museum ini dapat dikunjungi pada hari Senin hingga Sabtu saat jam kerja. Museum juga menyediakan berbagai paket wisata, seperti belajar bertani, berlatih tari, hingga membungkus tempe. Harga paket wisata ini mulai Rp30 ribu hingga Rp325 ribu per orang.
Reporter: Ridho Hidayat